Senin, 23 September 2013

Kicau Burung Bisa Berubah Karena Pencemaran

Burung Chickadee Hitam (Poecile atricapillus) Mirip Gelatik Batu
Nyanyian burung ternyata bisa berubah akibat pencemaran lingkungan. Hasil penelitian tim pakar burung Laboratorium Ornitologi Universitas Cornell di Amerika Serikat mengungkap terjadinya inkonsistensi nyanyian burung yang dipicu kontaminan di sedimen Sungai Hudson di Negara Bagian New York.

Pemimpin penelitian, Sara DeLeon, bekerja sama dengan Timothy DeVoogd dan Andr� Dhondt mempelajari populasi burung penyanyi chickadees hitam (Poecile atricapillus), mirip dengan gelatik batu dan pipit lagu (Melospiza melodia) yang bersarang di sepanjang lembah Sungai Hudson. Daerah ini selama beberapa dasawarsa tercemar limbah PCB dari industri manufaktur elektronik di hulu sungai. PCB alias polychlorinated biphenyls adalah polutan kimia sintetis yang bisa memicu efek beracun dan mengganggu perkembangan pada manusia dan satwa liar.

DeLeon mengatakan, burung penyanyi memberi makan anak mereka dengan serangga dari sedimen sungai. Padahal serangga yang digunakan sebagai sumber makanan utama itu telah terkontaminasi PCB. Beberapa burung terus memakan serangga tercemar sepanjang hidupnya, sehingga meningkatkan konsumsi PCB dalam tubuhnya.

Untuk mengetahui dampak kontaminan terhadap perubahan nyanyian burung, DeLeon dan rekan-rekannya mengamati dan merekam nyanyian kedua populasi burung. Mereka juga mengukur kadar dan mengidentifikasi varian PCB di sepanjang sungai. Total ada 209 varian limbah PCB yang dibedakan berdasarkan posisi dan jumlah atom klorin. DeLeon menguji 41 variasi ini untuk mengisolasi efeknya terhadap perubahan nyanyian burung.

Hasilnya, kadar PCB dalam darah burung chickadees hitam dan pipit lagu selaras dengan daerah yang tercemar. Semakin tercemar daerah tempat tinggal burung, semakin tinggi kadar PCB dalam darah mereka. Secara umum, burung pipit lagu lebih banyak tercemar PCB berkadar klorin rendah, sedangkan chickadees hitam terpapar PCB berkadar klorin tinggi.

"Chickadees hitam menunjukkan variasi nyanyian yang lebih beragam. Ada perubahan rasio 'glissando' pada nada pertama nyanyian mereka yang berisi dua nada, yaitu 'fee-bee, fee-bee'," ujar DeLeon. Burung pipit lagu, yang nyanyiannya lebih lama, juga menunjukkan perubahan getaran suara yang diduga akibat terpapar jenis molekul PCB yang kurang beracun.

DeLeon mengatakan, di daerah yang terpolusi PCB, sinyal identitas spesifik dalam nyanyian chickadee hitam menjadi lebih bervariasi secara signifikan. Variasi getaran suara dalam nyanyian burung pipit lagu di daerah tercemar PCB juga menjadi bermacam-macam.

"PCB dapat mempengaruhi produksi lagu, sebuah komponen penting dalam komunikasi di dunia burung," ujar DeLeon, seperti dikutip Guardian dan Sciencedaily, Senin, 23 September 2013. Perubahan kualitas nyanyian dua populasi burung itu juga sekaligus menjadi indikator efek beracun PCB terhadap lingkungan di sepanjang Sungai Hudson.

Andr� Dhondt, direktur Bird Population Studies di Laboratorium Ornithologi Universitas Cornell, menambahkan dampak PCB terhadap organisme terbilang sangat rumit. Penelitian ini tidak melihat pengaruh PCB jenis tertentu terhadap perubahan nyanyian burung, tetapi hanya mengukur tingkat pencemaran PCB secara keseluruhan. "Tapi penelitian ini mengkonfirmasi pengaruh polutan terhadap komunitas burung," kata dia. Tim mendalami penelitian untuk mengisolasi jenis PCB yang bisa mempengaruhi nyanyian burung.

Spesialis ekosistem muara Hudson dari New York Sea Grant, Nordica Holochuck, mengatakan penelitian ini sangat menarik bagi para pemangku kepentingan di lembah Hudson. "Limbah PCB yang tidak mematikan pun ternyata berdampak terhadap organisme," ujarnya.

DeLeon mengatakan, para ilmuwan harus selalu memperhitungkan keberadaan kontaminan setiap meneliti organisme yang hidup di lingkungan yang tercemar. Sebab, kontaminan alias polutan selalu bertahan lama dan meluas di lingkungan. "Kita harus mengetahui bagaimana perubahan lingkungan mempengaruhi organisme," ujarnya. Penelitian berjudul The Effect of Polychlorinated Biphenyls on the Song of Two Passerine Species ini diterbitkan dalam jurnal PLoS ONE.

Sumber : tempo.co

>> Di Negara Kita Indonesia ada yang perduli seperti ini gk yaa..?

Spesies Burung Kuno Kembali Di Temukan

spesies terbaru burung penyanyi rock wren dari selandia baru
Selandia Baru, WELLINGTON, Salah satu spesies burung penyanyi yang paling khas diduga telah kembali dari ambang kepunahan berkat proyek relokasi yang menetapkan habitat baru di satu pulau yang nyaris bebas dari pemangsa, kata Departemen Pelestarian Alam Selandia Baru (DOC), Senin (23/9).

Satu tim DOC telah merelokasi 41 burung kecil Alpine Rock Wren, yang juga dikenal sebagai tuke di Maori, dari sekitar Fiordland di barat-daya jauh negeri tersebut di South Island ke Secretary Island selama 2008 sampai 2011. Jumlah hewan itu jadi 66 pada April, demikian isi satu pernyataan DOC.

"Keamanan yang meningkat di pulau tersebut, tempat predator tidak terlalu menjadi ancaman, memberi jaminan bagi burung itu dari kepunahan di daratan utama," kata penjaga hutan DOC Megan Willans di dalam pernyataan tersebut, seperti dilaporkan Xinhua.

Dari ke-66 burung di pulau itu, tempat populasi predator, cerpelai, dikendalikan secara ketat, 63 telah menetas dan besar di sana. Itu menunjukkan burung tersebut telah cukup mapan untuk berkembang-biak.

Rock wren adalah satu-satunya burung alpine sesungguhnya di Selandia Baru dan salah satu spesies burung paling kuno di dunia. Burung tersebut berpangkal dari spesies yang ada lebih dari 80 juta tahun lalu dan memiliki kesamaan struktur sangat dekat dengan setiap kelompok lain burung di dunia.

Di antara ketujuh spesies wren yang hidup di Selandia Baru ketika manusia tiba, rock wren dan rifleman adalah dua speseis yang mampu bertahan hidup sampai saat ini. Penyebaran burung itu di seluruh habitat aslinya di bagian barat South Island kini terpenggal-penggal, dan kemunculannya baru-baru ini menunjukkan sebanyak 20 persen hewan lokal yang dikenal tak pernah menampakkan diri dalam 20 tahun belakangan.

Rock wren rentan terhadap pemangsa cerpelai dan tikus. Kedua spesies itu memangsa telur dan anak rock wren di sarang, dan cerpelai juga memangsa rock wren dewasa di sarang mereka. Alpine rock wren adalah salah satu dari banyak spesies asli Selandia Baru yang dipercaya para ahli dapat punah dalam waktu 50 tahun jika tak ada langkah untuk menyelamatkan mereka.

Sumber : republika

Kalau mau dengar suara ocehannya, mungkin bisa jadi mirip seperti ini : 

Burung Madu Ekor Merah Aethopyga temminckii / Temminck

Burung Madu Ekor Merah ( Aethopyga temminckii / Temminck )
Burung Madu Ekor Merah ini yang dalam bahasa latinnya (Aethopyga temminckii / Temminck) adalah salah satu dari spesies keluarga Nectariniidae genus Aethopyga.

Burung ini dapat di temukan di hutan terbuka seperti di perbukitan, gunung dan hutan - hutan tropis dan sub tropis atau dataran rendah yang lembab dengan ketinggian 1800 m,  dan penyebarannya terdapat di pulau Kalimantan, Sumatera, Malaysia, dan di sebelah selatan barat Thailand.

Ia dinamai bangsawan Belanda dan zoologi Coenraad Temminck Yakub, dan telah dianggap conspecific dengan Javan Sunbird, Aethopyga mystacalis.

Burung-madu ekor-merah, Aethopyga Temminck memiliki ukuran tubuh 10 cm untuk jenis betinanya, sedangkan jantan memiliki ukuran tubuh dengan panjang 12.5 cm hingga 13 cm.

Ciri - ciri Burung yang Betina seperti, ukurannya agak kecil, di bagian atas berwarna coklat zaitun, kepalanya berwarna abu-abu, tubuh bagian bawah berwarna zaitun kekuningan, iris coklat, warna paruhnya hitam, kaki juga hitam.

Ciri - ciri Burung yang Jantan seperti, Warna merah tua. Tunggir kuning. Ekor merah padam. Alis, sisi mahkota, tengkuk, dan penutup ekor bawah ungu metalik. Tubuh bagian bawah putih keabu-abuan.